Layaknya mahasiswa biasa, saya kerap memikirkan dan mempertanyakan banyak hal.
kerap pula pikiran dan pertanyaan itu terjawab tapi tidak jarang sekedar
terlintas lalu hilang begitu saja. Namun, kadang ada beberapa pikiran atau
pertanyaan yang sulit hilang walau tetap tak menemukan jawabannya, ini yang
sering menjengkelkan. Daripada hanya jengkel, lebih baik saya tulis saja setiap
pikiran dan pertanyaan itu. Siapa tahu suatu saat ada yang bisa menjawab dan
dari pemikiran atau pertanyaan yang satu siapa tahu melahirkan jawaban
sekaligus pemikiran dan pertanyaan selanjutnya yang akhirnya tersusun menjadi
bunga rampai pengetahuan yang indah.
Well, sering terlintas dalam benak saya sebuah pertanyaan : mengapa orang
Indonesia cenderung men - 'Dewa' kan orang luar? Baik dari segi pemikiran,
gaya hidup, busana dan sebagainya. Orang Indonesia pintar - pintar. Di luar
negeri juga banyak dari orang kita yang menjadi Dewa di bidang masing - masing.
Ada yang jadi profesor termuda, jadi ahli ini, itu, dan sebagainya. Tapi
mengapa orang Indonesia masih saja menDewakan pemikiran orang luar?
Misalkan saja dalan menghadapi gejala - gejala sosial, kita
lebih mengenal dan merujuk pemikiran - pemikiran Adam Smith atau David Ricardo
dibandingkan pemikiran - pemikiran produk domestik, seperti pemikiran Mansour
Faqih, Buya Hamka, Pramudya, atau pemikir - pemikir Indonesia lainnya padahal
nampaknya pemikiran mereka yang lebih mampu menjawab permasalahan -
permasalahan yang kita hadapi di negeri ini, sebab di samping seorang pemikir
mereka juga pelaku sejarah yang melebur dengan kultur dan budaya dan lebih
memahami gejala - gejala sosial yang ada di Indonesia.
Contoh lain, dalam keseharian kita misalkan fennomena booming
- nya Gangnam Style, Boyband atau Girlband baru - baru ini. Hampir
seluruh rakyat bangsa Indonesia tak ada yang tak kenal tiga hal ini. Yang
menarik, orang - orang kantor, pasar, masyarakat umum sampai anak - anak bangsa
pernah menjadi artis tarian gangnam style din youtube, koran, majalah, atau
media massa dan jejaring sosial lainnya. Belum lagi rombongan - rombongan muda
- mudi kita berduyun - duyun mendaftarkan diri dalam suatu acara yang dipercaya
sebagai indung telur dari boyband atau girlbang binti chibi - chibi, lalu
hasilnya kita puja - puja bersama!! Ini sangat baik bagi industri Entertainment
namun sudahkah dipertimbangkan akibat baik - buruknya bagi pendidikan,
attitude dan masa depan muda - mudi kita? Apakah ini yang terbaik untuk dilakukan
para tunas bangsa kita di usia remaja mereka? Lucunya, sebenarnya istilah
boyband dan girlband itu berasal dari budaya Jepang dan Korea, terkhusus
konsumen girlband sebenarnya adalah para orangtua yang mengidap
pedophilia di Jepang, lalu girlband bisa - bisanya lahir di negara kita? Yah,
negeri kita telah menjadi negeri konsumtif yang mudah termakan provokasi dan
sponsor yang gilang demilang, tak heran jika banyak negara asing memandang
bangsa kita sebagai Pasar Besar yang menggiurkan.
Sebenarnya bukan tidak boleh kita mempelajari pemikiran atau hal lain dari luar
negeri. sebelum berbicara tentang boleh tidaknya, alangkah baiknya jika kita
maknai bersama terlebih dahulu istilah kata "mempelajari" di atas.
Setidaknya dalam kasus ini, istilah "mempelajari" bisa bermakna ganda
: makna yang pertama, mempelajari adalah : Copy dan Paste, maksudnya kita ambil
apapun dari luar negeri lalu kita terapkan di negeri kita.
Menurut saya ini pemaknaan yang kurang tepat dan pemaknaan yang kedua, mempelajari adalah : Amati Tiru dan Modifikasi ( ATM ), maksudnya selain kita amati dan ambil sesuatu dari luar, tidak langsung kita ambil dan terapkan dalam hal kehidupan kita melainkan kita ambil, kita komparasi dan relevansikan dengan pemikiran, situasi, kondisi dan gejala social yang terjadi lalu pertimbangkan sesuai atau tidakkah kita terapkan di tanah pertiwi ini, maka lahirlah suatu produk baru dan produk baru inilah yang kita gunakan dan terapkan. Menurut saya, ini pemaknaan yang lebih benar.
Ironisnya, pada kenyataan kita lebih sering terjebak pada pemaknaan pertama, yaitu budaya Copy Paste. Hal apa? Karna kita lebih cenderung terbiasa berpikir, mengambil dan melakukan sesuatu secara instant.
Sudah menjadi rahasia umum, bangsa Indonesia mengahadapi masa krisis yang berkepanjangan bahkan sampai saat ini, bukan krisis moneter saja, itu hanyalah salah satu dampak. Musuh utama kita adalah Krisis Kepribadian atau Krisis Jati Diri. Hal ini yang akhirnya melahirkan berbagai krisis yang lain seperti krisis kepercayaan diri, krisis kepercayaan satu sama lain dan berbagai krisis lain yang secara bertahap menghapus jati diri dan bangsa kita.
Indonesia merdeka bersamaan dengan Negara lain seperti Malaysia dan Korea Selatan. Lalu mengapa kemajuan kita sebagai suatu Negara tertinggal jauh dengan Malaysia atau Korea Selatan? Apa yang salah? Mungkin ini bisa menjadi PR bersama, yaitu sebagai bahan tugas perenungan secara missal dan kita selesaikan bersama. Mengapa harus bersama? Karna ini adalaha masalah bersama maka harus kita fikirkan, refleksikan, analisa, diskusi sehat dan beradu argumentasi dengan melihat suatu masalah menggunakan berbagai sudut pandang dan disiplin ilmu yang akhirnya diharapkan mampu melahirkan sebuah pandangan umum yang objektif dan menjadi bahan penyadaran dan gerakan bersama. Artinya, kita harus segera dewasa dalam berfikir agar lekas sadar dan terbangun dari tidur panjang.
Apa yang dimaksud dengan School of Tought? Ialah sekolah pemikiran yang di dalamnya berisi diskusi – diskusi tentang suatu nilai di pandang dari berbagai sudut dan disiplin ilmu, misalkan filsafat, seni budaya, keyakinan dan sebagainya[1]. Artinya sebelum masuk ke dalam gerakan yang lebih kongkrit, kita perlu mematangkan kehausan mencari pengetahuan lewat membaca dan mematangkan pola piker kita terlebih dahulu. Membaca dan berfikir memanmg bukan segalanya, namun semua solusi pemecahan masalah berasal dari pengetahuan dan pemikiran yang ditujukan lewat gerakan, untuk itu membaca dan mematangkan pola pikir tidak boleh dilewatkan.
oleh IMMawan Mochammad Husen Assegar - Ka. Bid. Hikmah PC IMM Cirendeu